21 November 2009

Nelson Mandela: Melawan Apartheid dengan Rekonsiliasi

Nelson Mandela, presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih melalui pemilu demokratis tahun 1994, mengajarkan pengampunan kepada dunia. Negeri itu sebelumnya koyak-moyak oleh apartheid, dan ia sendiri mesti meringkuk di penjara selama 27 tahun akibat politik rasial itu. Kini ia bertekad untuk membangun Afrika Selatan yang baru. Ia mengawalinya dengan cara yang amat khas: ia meminta sipir penjaranya ikut naik ke panggung pada saat pelantikannya.


Selama memimpin negeri itu, ia antara lain membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC = Trust Reconciliation Comission), dengan ketua Uskup Agung Desmond Tutu. Mandela berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara, yang terjadi sewaktu ras atau suku yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan.


Selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan TRC. Peraturannya sederhana: bila seorang polisi atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui kejahatannya, dan mengakui sepenuhnya kesalahannya, ia tidak akan diadili dan dihukum untuk kejahatan tersebut. Penganut garis keras mencela pendekatan ini dan menganggapnya tidak adil karena melepaskan si penjahat begitu saja. Namun, Mandela bersikukuh bahwa negeri itu jauh lebih memerlukan kesembuhan daripada keadilan.


Sebuah kisah mengharukan dituturkan Philip Yancey dalam buku Rumours of Another World (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003). Pada sebuah pemeriksaan, seorang polisi bernama van der Broek mengakui perilaku kejinya. Ia dan beberapa perwira lain menembak seorang anak laki-laki delapan tahun dan membakar tubuh anak itu seperti sate untuk menghilangkan bukti. Delapan tahun kemudian van de Broek kembali ke rumah yang sama dan menangkap ayah si anak. Isterinya dipaksa menyaksikan para polisi mengikat suaminya pada tumpukan kayu, mengguyurkan bensin ke tubuhnya, dan menyalakannya.

Ruang pemeriksaan menjadi hening saat seorang perempuan lansia, yang telah kehilangan anak dan kemudian suaminya, diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. "Apa yang Anda inginkan dari Tn. van de Broek?" tanya hakim. Ibu itu menjawab, ia ingin van der Broek pergi ke tempat mereka dulu membakar tubuh suaminya dan mengumpulkan abunya, agar ia dapat melakukan pemakaman yang layak. Dengan kepala tertunduk, polisi itu mengangguk.


Kemudian ibu itu mengajukan permintaan tambahan, "Tn. van der Broek telah mengambil seluruh keluarga saya, dan saya masih memiliki banyak kasih yang ingin saya bagikan. Dua kali sebulan, saya ingin dia datang ke kampung saya dan menghabiskan waktu satu hari bersama saya, agar saya dapat menjadi ibu baginya. Dan saya ingin Tn. van der Broek tahu bahwa ia telah diampuni oleh Tuhan, dan bahwa saya juga mengampuninya. Saya ingin memeluknya, sehingga ia dapat mengetahui bahwa pengampunan saya ini sungguh-sungguh."


Secara spontan, beberapa orang di ruang itu mulai menyanyikan Amazing Grace saat perempuan lansia itu melangkah menuju tempat saksi, namun van der Broek tidak mendengarkan nyanyian itu. Ia terjatuh tak sadarkan diri.


Nelson Mandela menyadari bahwa sewaktu kejahatan terjadi, hanya satu tanggapan yang dapat mengalahkannya. Pembalasan dendam hanya akan melanggengkan kejahatan itu. Keadilan hanya akan menghukumnya. Kejahatan hanya akan dikalahkan oleh kebaikan bila pihak yang disakiti bersedia menyerapnya, mengampuninya, dan menolak untuk membiarkannya menyebar lebih jauh.


Itulah yang diajarkan Mandela kepada bangsanya, dan kepada dunia.


Artikel oleh: Denmas Marto

16 November 2009

Penerimaan Tanpa Syarat

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.


Tugas terakhir yang diberikan kepada para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering! Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.


Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.


Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, dan... tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tuna wisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.


Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" ke arah saya.


Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang! Ia menatap ke arah saya, seolah meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu. Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong”-nya. Saya merasa sangat prihatin. Setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir... Nona!" Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran di sini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.


Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba, membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.


Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap, "Makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata, "Terima kasih banyak, nyonya.”


Saya mencoba tetap menguasai diri sambil menepuk bahunya saya berkata, "Sesungguhnya, bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."


Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk, suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anukku!" Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena 'bisikan-Nya' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap, "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami." Saya hanya bisa berucap "terima kasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran, saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami! Dalam perjalanan pulang, saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tuna wisma tadi, itu benar-benar 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya dan sekaligus merupakan 'hidayah' bagi saya, maupun bagi orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat hangat dan indah sekali!

Saya kembali ke kampus pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya, saya dipanggil dosen ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" Dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya, dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca. Para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.


Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya , "Tersenyumlah dengan 'hatimu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "Penerimaan tanpa syarat."

Sumber: forward dari teman.

Ilustrasi foto: www.stressreductionninstitute.wordpress.com

26 Oktober 2009

Raja dan Pengemis

Raja berkata pada dua orang pengemis: “Coba kalian pikirkan, seorang setiap harinya harus memberi, satunya setiap hari harus mendapatkannya. Jika boleh memilih, yang mana yang akan kalian kerjakan?”

Orang yang pandai bicara berebut berkata, “Tentu saja sebagai orang yang bisa mendapatkan.” Raja tersenyum-senyum. Kemudian ia berkata pada pengemis yang satunya: “Kamu?” Dengan hormat dan rendah hati orang itu menjawab, “Jika bisa, saya bersedia sebagai orang yang memberi.”

“Baiklah.” Raja tertawa riang, “Sekarang saya penuhi permintaan kalian.”

Raja membiarkan orang yang ingin mendapatkan meneruskan pekerjaannya sebagai pengemis, sebab hanya pengemis baru bisa mengharapkan pendapatan dari orang lain setiap hari. Sedang yang satunya mendapatkan hadiah dari raja, menjadi orang yang kaya, hanya dengan demikian ia baru bisa memberikan yang dimilikinya pada orang lain setiap hari.

Inspirasi dari fabel ini terletak pada diri kita, di mana timbul keegoisan dan keserakahan atau dalam hidup kita yang hanya ingin mendapatkan agar diri sendiri menjadi kaya menikmati kemewahan hidup. Atau timbul niat baik dan kasih sayang berusaha memberikan perhatian dan bantuan pada orang lain, sehingga dengan demikian mungkin bisa sering dirugikan, tapi mempunyai perasaan senang dapat menolong orang yang susah.

Namun, dalam pandangan para dewa, hal ini logikanya malah terbalik: Seseorang yang berniat baik, mengeluarkan berarti mendapatkan De, dewa akan menganugerahinya balasan yang berharga, sehingga ia menjadi orang yang benar-benar kaya. Sedangkan terhadap orang yang berhasrat egois, dewa juga akan memenuhi keinginannya, yang didapat dari serakah adalah kehilangan, dan menjadi pengemis yang sebenarnya.

Sumber: Tabloid Erabaru, No. 20 Tahun Ke-1

09 Oktober 2009

Sang Raja dan Burung Kecil

Ada sebuah cerita kuno di India. Pada suatu siang hari, beberapa orang dewasa sedang mengobrol dengan santai di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba terdengar suara burung dengan nada sedih yang sedang berusaha terbang sekuat tenaga. Ketika dilihat seekor burung kecil terbang rendah sekali, sebentar jatuh dan terbang lagi, tetapi sama sekali tidak berhasil, tampak menderita sekali.


Di belakang burung kecil itu, ada sekelompok anak sedang mengejarnya dengan riang gembira, sementara para orang dewasa hanya tertawa terbahak-bahak dianggapnya itu mainan yang lucu. Nah, pada saat itulah muncul orang tua yang berpakai baju putih mendekati dan menghalangi anak-anak yang mengejarnya, dan berjongkok mengambil burung kecil itu pelan-pelan dengan kedua tangan.


Oh! Sayap burung itu ternyata diikat dengan tali dan di ujung tali terikat satu biji batu, pantas burung itu tidak dapat terbang! Orang berbaju putih itu merasa kasihan pada burung kecil itu. “Burung itu punya kami, pulangkan kepada kami,” kata anak-anak itu dengan nada kurang sopan. Tapi, orang berbaju putih itu berujar, “Aku akan membeli burung ini, berapa harganya?” Mendengar uang, anak-anak itu sangat gembira dan menjualnya kepada orang itu. Orang berbaju putih tersebut dengan penuh belas kasih membuka talinya dan melepaskannya, burung itu terbang berputar-putar di atas kepalanya dengan riang seolah ingin mengucapkan terima kasih.


Selanjutnya, orang berbaju putih ini mengelus kepala anak-anak itu: “Lihatlah anak-anak, burung kecil itu terbang bebas dan bernyanyi gembira, ini indah sekali bukan? Setiap jiwa pun mempunyai harga dan hak untuk hidup, ini adalah jiwa yang indah di dalam langit bumi.” Anak-anak itu hanya menundukkan kepala, dan orang-orang dewasa yang di samping itu juga merasa malu. Orang berbaju putih sekali lagi mengelus kepala setiap anak, lalu pergi. Mereka melihat bayang-bayang di belakangnya, terdapat kelapangan dada yang luar biasa, dengan kelembutannya bertutur. Tiba-tiba seorang anak berujar, ”Aku ingat! Beliau adalah sang raja kami.”


Saat itu adalah zaman kerajaan di mana rajanya seorang penganut agama Buddha yang taat, rakyatnya disayang seperti anaknya sendiri, sering memakai berbaju putih, masuk ke perkampungan penduduk untuk memahami keadaan rakyat, dan sering menolong orang yang susah. Sebagai sesama, kita berusaha memahami jiwa yang indah, dan juga harus selalu bermurah hati kepada orang yang membutuhkan pertolongan, serta memupuk kasih sayang kepada semua jiwa.

Sumber: Mingxin.net

23 September 2009

Dihina Tetap Tertawa

Saya pernah membaca sebuah artikel di internet: Ada seorang guru mengajak sekelompok muridnya menumpang bis umum untuk meninjau kehidupan di luar sekolah. Setelah semua muridnya mendapatkan tempat duduk, guru tersebut sudah tidak mendapatkan tempat duduk lagi, maka dia terpaksa berdiri.

Sesampai di pemberhentian berikutnya, ada sekelompok orang yang menaiki bis, diantara penumpang itu ada seorang nenek tua, yang berambut putih wajahnya keriput, seperti orang yang sudah mengalami banyak pahit getir kehidupan, kebetulan dia berdiri di samping guru itu.

Melihat keadaan nenek itu, hati iba guru tersebut muncul begitu saja, dia menyorotkan pandangannya ke tempat duduk khusus. Seorang gadis muda duduk dengan menundukkan kepala sambil memutar-mutar tali tas bawaannya, berpura-pura seperti tidak melihat apa-apa.

Dengan kondisi seperti itu, guru tersebut berpikir untuk menggunakan kesempatan itu untuk mendidik, karenanya dia membuka suara bertanya pada anak didiknya, "Anak-anak sekalian, tempat duduk khusus itu disediakan untuk siapa?" Anak-anak kecil itu menjawab dengan polos, "Tempat duduk khusus itu disediakan untuk orang tua atau orang cacat!" Sambil bertanya guru itu menengok ke arah gadis muda itu untuk melihat reaksinya, dia menemukan bahwa gadis itu bagai tidak mendengar sama sekali, terus memutar-mutar tali tasnya dengan lebih kuat.

Melewati satu pemberhentian lagi, gadis muda itu turun dari bis, setelah turun dari bis guru itu melihat gadis muda itu berjalan dengan terpincang-pincang, kaki kanannya harus membentuk setengah lingkaran baru bisa digerakkan untuk melangkah maju.

Pada saat itu guru itu baru menyadari bahwa gadis muda itu adalah seorang cacat, segera dalam hati guru itu merasakan penyesalan dan sangat malu, dia sangat penasaran sekali ingin turun dari bis untuk menyatakan permintaan maafnya kepada gadis itu, tetapi bis sudah berjalan meninggalkan halte itu. Hati guru itu rasanya seperti disayat, dia berpikir, "Saya tadi sudah melukainya sangat berat!"

Artikel tersebut telah membicarakan sebuah topik yang sangat penting, yaitu ketika kita menuduh orang lain, sebenarnya itu bukanlah berdasar pada kelakuan orang yang dituduh, tetapi atas dasar perkiraan pikiran kita terhadap sikap orang lain yang kita analisa dan simpulkan sendiri. Para psikolog mengategorikan penyebab manusia menyimpulkan orang lain dari sikapnya itu sebagai semacam "kembali pada sebab".

Makna dari "kembali pada sebab" ini, pada umumnya diartikan menghubungkan segala kesalahan dengan sebab permasalahan. Ketika seseorang menemui suatu masalah yang besar, seringkali bisa mendorongnya untuk menyimpulkan sebab dari permasalahan itu.

Guru tersebut telah mengambil kesimpulan sendiri: Gadis muda yang menduduki tempat duduk khusus dan tidak mau mengalah itu, tidak mengerti tata karma, dan sopan santun, maka dari itu ia lalu mempunyai pikiran mengambil kesempatan ini untuk mendidik murid-muridnya.

Sebenarnya bukanlah hal yang mudah untuk dapat menyimpulkan secara tepat penyebab perilaku orang lain, karena latar belakang kehidupan dari setiap orang itu tidak sama, karena itu siapa pun akan sangat sulit untuk bisa benar-benar memahami orang lain.

Oleh karenanya, di dalam sejarah Tiongkok kemudian timbul suatu kiasan atau ungkapan yang mengatakan sahabat intim seperti Bo Ya dan Zi Qi sangat sulit dicari. Misalnya dalam cerita di atas, karena guru itu sendiri bukan seorang yang cacat, di dalam benak pikirannya sangat sulit memahami tentang konsep orang cacat ataupun perasaan mereka.

Selama dua puluh tahun lebih sebagai seorang pendidik orang cacat, pekerjaan pertama saya sebagai guru pengajar sekaligus sebagai ketua penelitian di SLB, saya juga pernah ke pelosok negeri untuk meneliti pendidikan para tuna rungu. Tetapi sejauh itu, baik dalam pekerjaan maupun penelitian ilmiah yang pernah saya lakukan, saya sama sekali tidak pernah bisa menghayati berbagai macam perasaan yang ada pada diri saya sendiri sampai akhirnya menjadi tuna rungu.

Penderitaan dan kesedihan dari seorang tuna rungu, sungguh sangat sulit untuk diuraikan dengan satu dua patah kata, tetapi sama sekali tidak pernah muncul dalam literatur mana pun. Mengambil beberapa contoh: Sebelum kehilangan pendengaran, malam ketika mau tidur setelah lampu dipadamkan, masih bisa bercengkrama dengan asyik; Setelah kehilangan pendengaran, hanya bisa diam seribu bahasa bertanya kepada yang Kuasa.

Ketika masih sebagai seorang guru pengajar tuna rungu, pernah ada seorang murid yang membawa secarik kertas minta saya membantu dia untuk menelepon, ketika itu dalam hati saya berpikir : Untuk apa? Telepon saja juga harus minta bantuan guru?! Setelah jadi seorang tuna rungu saya baru tahu, karena seorang tuna rungu tidak bisa menelepon, oleh sebab itu teman-teman lama saya satu per satu mulai jauh dari saya, hingga sekarang saya sudah sepenuhnya menjadi manusia yang sama sekali terisolir dari masyarakat.

Pada awalnya sekolah khusus mengajarkan bahasa isyarat sebagai pelajaran utama, orang awam umumnya tidak mengerti bahasa isyarat, seorang tuna rungu hanya bisa berkomunikasi dengan sesama tuna rungu, maka pada saat itu saya berusaha keras di dalam sekolah untuk menjalankan pelatihan komunikasi dengan menggunakan bahasa tulisan.

Setelah saya sendiri kehilangan pendengaran, saya baru tahu : Saya telah berobat ke puluhan dokter ahli, namun jarang sekali ada dokter yang mau menggunakan cara menulis untuk memberitahukan keadaan penyakit saya.

Untuk bisa memahami orang lain adalah hal yang sangat sulit, karena di dalam memahami dunia ataupun diri seseorang kita selalu berlandaskan pada latar belakang kehidupan kita sendiri. Untuk satu hal yang sama, karena latar belakang kehidupan dari setiap orang tidak sama, kesadaran masing-masing orang juga sangat berbeda.

Laozi berkata, "Orang bijak mendengar Tao (= jalan kebenaran), dengan rajin akan dilaksanakan; Orang kebanyakan mendengar Tao, seolah-olah berlatih seolah-olah tidak; Orang bodoh mendengar Tao, akan menertawakan dengan keras, jika tidak ditertawakan bukan merupakan Tao." Perkataan ini merupakan anotase yang paling bagus.

Dalam sekolah taman kanak-kanak, guru menuliskan tanda "+" dipapan tulis, bertanya kepada anak-anak sekolah Mandarin apakah itu? Jawabannya tentunya adalah 10. Jika bertanya kepada anak SD kelas satu atau kelas dua, mereka bisa menjawab tanda tambah. Jika tanya kepada pengikut Kristen jawabannya adalah salib.

Jika bertanya pada sopir, jawabannya pasti persimpangan jalan. Tanya kepada donatur, dia pasti menganggap itu adalah tanpa palang merah. Sebuah tanda "+" yang sama, bisa mempunyai keterangan yang beraneka ragam.

Kecuali sebab ini, semangat dan keinginan yang berbeda terhadap perasaan dan penjabaran benda, juga bisa mempunyai pengertian yang berbeda. Sisa tentara yang baru kalah dari medan perang tentunya bisa mempunyai perasaan panik, rumput dan pohon semuanya nampak seperti tentara musuh.

Manusia yang berhati kotor, tentunya bisa menghidupkan suara dan bayangan, suara tiupan angin dan gerak-an dahan pohon akan dia rasakan bagai tangisan setan dan lolongan serigala.

Situasi yang berbeda, keterangan yang diberikan mungkin bisa berlainan juga. Seorang ayah bertanya kepada bapaknya, "Ayah, menikah itu memerlukan berapa banyak uang?" Anaknya ingin menikah, sedang memperhitungkan biaya perkawinan. Ayahnya menjawab, "Sulit dikatakan, karena hingga saat sekarang ini ayah masih harus membayar akibatnya."

Kebiasaan berpikir juga bisa memilin perasaan, menyebabkan penafsiran yang salah :

Ada dua orang teman saling bercerita tentang keadaan masing-masing...

Si A: "Demi menyenangkan hati isterinya, dia mulai berhenti merokok, minum- minuman keras, juga sudah tidak pergi berjudi lagi."

Si B berkata, "Kalau begitu isteri Anda pasti senang bukan main."

Si A menjawab, "Tidak juga! Dia merasakan sangat jemu, karena dia kehabisan bahan untuk mengomel."

Isteri ini memupuk semacam kebiasaan mencari kesalahan orang lain, dia tidak melihat bahwa suaminya sudah menghentikan banyak kebiasaan buruknya, tidak bisa mengagumi kelebihan dari Mr. Right ini, sebaliknya dia merasakan kejemuan karena "tidak ada kesalahan lagi yang bisa dia cari!"

Dahulu ada seorang pejabat, sangat arogan sekali, sering kali mencari kesalahan bawahannya. Suatu hari, pembantunya menyajikan semangkuk sup sirip ikan yang berkualitas sangat tinggi, pejabat itu melahapnya dengan sangat nikmat sekali, sambil melahap sambil berkata, "Hem, sungguh luar biasa enaknya!"

Ketika itu, setiap bawahannya mengira pejabat itu akan memberi hadiah kepada pembantunya itu, tidak disangka di luar dugaan dia malah menghardik pembantunya itu, "Kurang ajar! Makanan yang begitu enaknya, mengapa hingga sekarang baru Anda sajikan, apakah kamu ingin saya pecat!"

Masih ada, prasangka seseorang terhadap sesuatu juga bisa mempengaruhi penjelasannya terhadap benda atau masalah itu. Misalnya, murid menggunakan buku menutupi diri yang merebahkan kepala untuk tidur di atas meja. Jika murid tersebut tingkah lakunya kurang baik, guru bisa menerangkan kelakuan tersebut sebagai: "Kelihatan buku langsung mengantuk dan tidur! Sungguh seperti kayu rapuh tidak bisa diukir". Jikalau yang tidur itu adalah murid yang berkelakuan sangat baik, guru tersebut akan bisa beranggapan: "Ketika tidur pun masih membaca buku, ia akan mempunyai masa depan yang tidak terbatas!"

Berbagai faktor yang diceritakan di atas menjelaskan: Diantara manusia dan manusia sangat sulit sekali untuk bisa saling memahami, maka atas perilaku setelah balik ke sebab, segala dakwaan yang dilakukan acapkali bisa berubah rupa hingga tidak bisa dikenal lagi.

Sebaliknya, orang yang dituding, yang dikritik itu, ketika menghadapi kritikan orang yang tidak mengerti fakta yang sebenarnya, asalkan mau menelaah ke dalam diri sendiri, tidak merasa malu, mengapa harus mengganjal dalam hati, mencari kerisauan sendiri? Setelah mengerti dengan prinsip ini, "Dihina tetap tertawa sampai ludah di wajah pun mengering dengan sendirinya", maka ini bukan lagi suatu cara pengasuhan diri yang sulit untuk dicapai.

Sumber: www.epochtimes.co.id

04 September 2009

Buku yang Menggetarkan Hati, Langit dan Bumi

Satu-satunya buku di dunia ini yang dapat menggetarkan hati, langit dan bumi hanyalah “Zhuan Falun”. Bagi saya itu adalah suatu kebenaran. Saya dulunya termasuk seorang yang mempunyai hati yang keras, disiplin dan kurang sabar dalam bertoleransi dengan orang lain yang menurut saya kurang pantas diberi hati, karena saking ekstrimnya mungkin jadi sedikit aneh dimata orang lain. Sampai sampai orang tua saya agak kewalahan dalam memahami cara berpikir saya. Meskipun mereka tahu banyak sisi-sisi baik saya yang tidak terdapat pada kebanyakan orang lain, namun kenyataannya itu semua tidak bisa menutupi rasa kekhawatiran mereka terhadap prinsip saya. Saya termasuk tipe yang berpegang teguh pada janji sampai kadang menomor duakan urusan keluarga dan pribadi., selalu berpikir untuk selalu menolong orang lain sampai-sampai diri saya sendiri tidak saya pikirkan, dan selalu menuntut keadilan meski harus bertaruh nyawa sekalipun untuk itu. Ini semua mungkin bebarapa contoh sifat ektrim saya.

Ibu saya dari dulu selalu berharap ada yang bisa membukakan hati saya sehingga saya bisa sedikit lunak dalam menyikapi segala sesuatu dan mau sedikit toleran serta sabar kepada orang lain. Selama ini saya selalu berkutat dengan obsesi saya untuk membuat kehidupan ini sesuai dengan aturan yang benar, bahkan kadang-kadang saya seperti hakim galak dan kejam jika menemukan seseorang bersikap sembarangan dan “semau gue”.

Sejak saya membaca buku Zhuan Falun entah kenapa saya nyaris berubah total dalam memahami kebaikan dan kebenaran selama ini. Dari buku itu saya jadi tahu bahwa apa yang menurut saya benar belum tentu baik, dan apa yang menurut saya baik belum tentu benar. Semua harus punya nilai ukur dalam kebenaran yang sejati, bukan kebenaran yang dibuat benar dengan tolok ukur manusia. Saya bahkan jauh lebih bisa toleran dan sabar dalam mengahadapi perilaku manusia yang kebanyakan sudah menyimpang ini, juga saya menjadi paham tentang arti keikhlasan yang sesungguhnya. Sekarang kehidupan saya terasa lebih indah dan ringan dalam menapaki perjalanan hidup ini.

Sejak saya mengenal buku Zhuan Falun ibu saya pun juga heran dengan perubahan atas sikap dan perilaku yang terjadi pada diri saya. Meski beliau tidak tahu apa yang bisa merubah kepribadian saya secara fundamental tersebut, beliau merasa sangat bersyukur karena telah ada yang membukakan hati saya, begitu kata yang selalu beliau ucapkan..

Setelah saya mengetahui prinsip-prinsip kehidupan dalam buku Zhuan Falun, sayapun sangat antusias menyampaikan kebaikan dari buku tersebut kepada teman-teman saya. Sebagian besar merasakan pula perubahan yang mengarah ke kebaikan. Ada yang menceritakan bahwa dia bahkan menjadi tidak bisa marah lagi sejak baca buku itu, meskipun saya tahu betul bahwa sebelumnya dia adalah tipe orang yang gampang marah dan memaki orang. Ada juga yang biasanya hidup amburadul menjadi orang yang disiplin dan baik kepada orang lain. Bahkan ada yang mendapat kesembuhan dari penyakit menahunnya hanya dengan mambaca buku tersebut. Benar-benar Zhuan Falun adalah sebuah buku yang bisa menggetarkan hati bagi orang yang membacanya, menggetarkan hati manusia menuju ke kebaikan.

Namun begitu ada juga teman saya yang begitu membaca buku Zhuan Falun ini menjadi begitu membecinya, bahkan mencaci dan menghinanya. Saya pun dikatakan sebagai orang yang tidak punya prinsip dan orang yang paling goblok di dunia karena begitu mudahnya saya berubah kepribadian seperti menjadi orang lain dan bukan diri saya yang dulu. Setiap saya telpon dan ketemu hanya lontaran kebencian dan makian yang saya dengar dari mulutnya. Saya hanya dapat mengingatkan padanya. Bukankah saya telah menjadi orang yang sangat baik sekarang? Bahkan untuk menggunjing atau berkata yang tidak bagus pun saya harus berpikir ribuan kali agar tidak sampai saya lakukan, bukankah itu bagus?. Lalu kenapa Anda seperti orang kesetanan begitu mati-matian membencinya? Pernahkah Buku Zhuan Falun ini merugikan atau mengambil keuntungan dari milik Anda? Pernahkan buku ini membenci, menghina ataupun memfitnah orang lain? Lantas kenapa Anda begitu dendamnya seolah-olah pernah ada sangkut paut apa dengan Anda? Semua ini adalah beberapa kalimat yang sempat saya sampaikan kepadanya untuk menjernihkan pikirannya.

Li Hongzhi, penulis buku ini juga pernah mengatakan bahwa siapapun yang membaca buku ini pasti akan tergetar hatinya, baik yang setuju atau yang menentang, maupun yang jahat ataupun yang baik, setiap kebaikan diajarkan pasti akan ditentang oleh yang sesat. Saya jadi berpikir mungkin inilah yang menjadi penyebab mengapa praktisi Falun Gong di China dianiaya oleh pemerintahnya sendiri. Seperti diketahui Falun Gong adalah berasal dari China, tapi kenapa pemerintahnya malah menganiaya rakyatnya sendiri? Ratusan juta rakyatnya dilarang membaca buku Zhuan Falun. Mereka ditangkap dan dipenjara serta diambil organnya hidup-hidup kemudian organ tersebut dijual ke semua Negara yang membutuhkannya. Lantas siapa yang pantas disebut jahat ? Kalau rakyat manjadi baik bukankah saharusnya merasa bersyukur? Tidak ada lagi yang korupsi, tidak ada lagi yang mau berbuat kejahatan, semua orang memperlakukan orang lain dengan baik tidak sewenang-wenang, semua mendapat manfaat peningkatan kwalitas kesehatannya, semua masyarakat kembali mempunyai standar moral yang tinggi, bukankah semua ini bagus?

Sejak Nabi Adam berada di dunia ini, ataupun dalam seluruh sejarah kehidupan manusia, selalu saja kebaikan dimusuhi oleh kejahatan, tapi selalu saja kebaikan membawa kemenangan, inilah yang saya maksud dengan Zhuan Falun menggetarkan langit dan bumi.

Sumber: www.erabaru.net

26 Juli 2009

Duka Si Burung Merak

Suatu ketika di saat sedang bekerja, mendadak seorang teman berkata dengan misterius: “Bagaimana kalau kita lakukan suatu tes psikologi?” “Boleh, katakan saja,” saya merasa aneh dan juga ingin tahu. “Dengarkan baik-baik,” katanya, “ada lima ekor binatang, yaitu harimau, kera, merak, gajah dan anjing. Kamu membawa lima ekor binatang ini, pergi mengeksplorasi hutan primitif yang belum pernah kamu datangi. Lingkungan sekitar sangat berbahaya, sehingga tidak memungkinkan kamu membawa mereka sampai akhir dan terpaksa kamu harus melepaskan mereka satu per satu. Dengan urutan bagaimanakah kamu melepaskan binatang tersebut?”


Berpikir cukup lama lalu saya berkata: “Merak, harimau, anjing, kera dan gajah.” “Ha, ha, ha,…,” temanku tertawa terbahak-bahak, lalu berkata: “Ternyata jawabanmu tidak jauh dari dugaanku, kamu juga melepaskan merak lebih dulu, tahukah kamu merak itu melambangkan apa?” Sang teman menjelaskan padaku: “Merak mewakili suami/istri atau kekasih; harimau mewakili keinginan kuasa dan kekayaan; gajah mewakili orangtua; anjing mewakili teman dan kera mewakili anak.” Jawaban dari pertanyaan ini adalah mencerminkan apa yang pertama akan kamu korbankan di kala kamu menemui kesulitan. Coba kamu lihat sendiri orang macam apakah kamu ini.”


Merak mewakili kekasih? Saya sangat terkejut. Apakah dalam keadaan susah yang pertama saya lepaskan adalah kekasih saya? Benarkah saya termasuk golongan orang macam begitu? Disodori pilihan, mengapa saya pertama melepas merak? Karena saya merasa meraklah yang paling tidak dapat menolong saya bila saya dalam keadaan susah.


Saya tidak setuju dengan penilaian teman ini, maka saya mencari orang lain untuk ikut dalam permainan itu. Sama seperti yang dikatakan oleh teman saya, hampir semua orang selalu melepaskan merak pada urutan pertama. Di saat terakhir saya mengungkapkan jawaban, banyak reaksi orang yang sama dengan saya, bahkan ada pula yang berkata: ”Orang yang menciptakan permainan ini pasti bukan orang normal.”


Pada suatu hari ketika saya menelepon seorang teman, mendadak terpikir soal permainan ini, lalu meminta teman ini untuk menjawab. Teman ini setelah berpikir lama lalu berkata: “Kera, harimau, gajah, anjing, merak.” Saya amat terkejut, dialah satu-satunya orang yang memilih terakhir melepas merak. “Mengapa terakhir melepas merak?” saya bertanya dengan amat terperanjat. Sebaliknya, dia amat kaget dengan pertanyaanku, dan berkata: “Coba kamu pikirkan, di antara lima binatang tersebut, hanya meraklah yang paling tidak mampu menjaga diri sendiri. Bagaimana mungkin saya melepaskannya, membiarkan dia terperangkap sendirian dalam lingkungan yang berbahaya.”


Saya segera mengerti kesedihan saya. Dalam proses menentukan pilihan, kita selalu menuntut apa yang dapat diberikan oleh orang lain terhadap diri kita, tanpa pernah memikirkan apa yang orang lain butuhkan dari diri kita.


Sumber: Tabloid Era Baru, Tahun Ke-1 No. 9